Apa gunanya sih sekolah dan universitas jika kita akhirnya hanya
menghasilkan beo-beo seperti para doktor pertanian yang tidak mampu membuat
“Jambu Indonesia” atau “Durian Indonesia”, tetapi hanya membuat segala
hasil-hasil pertanian serba Bangkok? Mengapa orang-orang berteriak-teriak
seperti kebakaran jenggot ketika sejumlah oknum tak bermoral menjajakan gelar
seperti pedagang kaki lima menjual obat sakit ginjal seharga Rp. 100.000,- di
pinggir jalan? Tidakkah sekolah dan universitas hanya mampu melahirkan
sarjana-sarjananya, bahkan belakangan juga doktor, yang bisanya cuma menjiplak
karya orang lain? Bukankah kita telah lama tahu bahwa sebagian sarjana kita
tidak pernah menghasilkan karya tulis serius setelah diwisuda . Harefa
(2003:10-12) menyatakan juga bahwa bahkan juga para doktor dan professor hanya
sesekali menulis di media cetak untuk dapat disebut „pakar“.
Semua yang ditulis Andrias Hanefa ini benar adanya. Kalau
begitu, untuk apa KULIAH? Itulah pertanyaan berikutnya yang dapat membuat panas
kupingmu.
Sebagian kita pergi mendaftar ke perguruan tinggi (PT) karena
terbawa arus. Semua teman di bangku SMA daftar kuliah; gengsi dong kalau tidak
kuliah. Lalu, mendaftarlah kita ke PT tertentu tanpa tujuan jelas: yang penting
keren dan sama seperti yang lain.
Sebagian ada juga yang mendaftar karena sadar akan pentingnya
masa depan. Mereka sudah menyiapkan sejak bangku SMA: „Mau jadi apa diriku di
masa depan?“. Sebagian lagi, kuliah untuk mencari jodoh. Jarang sekali yang
kuliah dengan tujuan semulia tulisan Romo Mangun ini, „Manusia pegawai, manusia
yang serba bergantung harus diubah
menjadi manusia swasta. Manusia merdeka. Nah, ini bisa lewat pendidikan, bisa
juga lewat sentuhan-sentuhan lain yang mungkin lebih ampuh.“
Namun sayangnya, ujar Romo Mangun, pendidikan kita juga
sudah tenggelam dalam sistem yang tidak baik. „.......... Ternyata pendidikan
tenggelam dalam power sytem. Sekolah
bukan tempat menghafal, maka harus ada counter-education.Kalau tidak, maka bangsa kita akan terus merosot menjadi bangsa kuli babu lagi
atau panda-panda dalam sirkus. Jadi, soalnya sekarang adalah bagaimana kita
menyusun suatu masyarakat di mana orang-orang kita sungguh menjadi manusia
merdeka, manusia yang tuan-tuan dan puan-puan sejati“ Mangunwijaya dalam
Sumartana
Tidak ada komentar:
Posting Komentar